Mudik Jakarta-Wonogiri dengan Sepeda Motor

Mudik Jakarta-Wonogiri dengan Sepeda Motor

Sekarang sudah masuk hari ketiga 30 HMC (Hari Menulis Cerita), salah satu program kepenulisan yang diadakan KUBBU (Komunitas Blogger dan Buku) Backpacker Jakarta.  Para member KUBBU ditantang untuk menulis selama 30 hari dengan tema yang berbeda-beda. di Hari ke-3 ini tema yang diambil adalah kenangan. 

Aku pribadi sangat tertarik dengan tema ini, terima kasih sudah diingatkan untuk menuliskan sebuah kenangan. Tulisan ini akan aku baca lagi, entah beberapa tahun ke depan untuk mengingat kejadian di saat itu. Aku bisa saja tertawa, tapi mungkin bisa juga menangis. Setiap kenangan akan menyimpan memori yang menyenangkan, tapi tidak sedikit pula menyimpan kesedihan. Kenangan pahit yang melukai hati akan dominan diingat sampai kapanpun.

***********************************

Masih ingat kemacetan mudik tahun 2016? Bagi pemudik dengan tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya yang mengambil transportasi darat pasti menyisakan kenangan yang cukup membekas untuk sebagian orang. Bagaimana tidak!! hampir semua kendaraan terjebak kemacetan karena tol baru yang dibuka justru menjadi titik awal kemacetan. Di kesempatan ini aku mau berbagi cerita perjalananku untuk pertama kalinya mudik dengan sepeda motor dengan waktu tempuh 44 jam sedangkan waktu normalnya hanya 15 jam. Kok bisa jadi lama perjalanannya? ini kisahku.

************************************

Sebagai seorang perantauan, hari raya Lebaran menjadi hari yang sangat dinantikan. Bahkan dua bulan sebelum hari H, aku sudah disibukkan dengan mencari transportasi untuk pulang kampung ke kota asalku Wonogiri.

Pada saat itu, tepatnya tahun 2016 teman-teman di sekelilingku juga berasal dari Wonogiri. Malam itu kami membahas transportasi yang akan kami gunakan untuk pulang kampung. Temanku yang bernama Azis sudah sering mengendarai sepeda motor saat pulang memutuskan untuk naik sepeda motor lagi. Beberapa temanku yang lainnya pun ingin mencoba naik sepeda motor, dan aku juga tergiur untuk mencobanya.

Ternyata benar ya, lingkungan kita akan mempengaruhi apa yang akan kita lakukan. Aku yang tidak pernah menggunakan sepeda motor untuk perjalanan jauh akhirnya tertarik juga untuk naik sepeda motor.

Selain faktor lingkungan tersebut, aku sebenarnya juga penasaran ingin merasakan naik sepeda motor saat pulang kampung, ya minimal sekali seumur hidupku, hehe. Jarak tempuhnya kurang lebih 550 km, normalnya bisa ditempuh dengan waktu kurang lebih 15 jam, tapi Karena lebaran mungkin bisa mencapai 20 jam.

Ada rasa sedikit ragu saat itu, karena aku belum lama mengganti sepeda motor dari matic ke sepeda motor Vixion (atau lebih dikenal dengan sebutan motor cowok). Akupun baru latihan menggunakannya setelah membelinya, karena sebelumnya aku tidak pernah mengendarai motor cowok.

Aku terlebih dahulu meminta ijin ke orang tuaku yang berada di kampung. Awalnya aku tidak diijinkan karena takut terjadi sesuatu hal yang buruk di jalan. Aku terus berusaha meyakinkan kedua orang tuaku kalau aku akan berhati-hati, dan akhirnya akupun diijinkan.

Sebelum hari H aku sudah mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan, karena persiapan yang matang akan mempermudah perjalananku. hal pertama yang aku lakukan adalah service motor, mengganti oli, dan mencucinya. Beberapa alat pelindung diri seperti deker buat lutut kaki dan deker siku tangan aku beli. Tidak lupa aku juga membeli masker, jas hujan, termasuk helm baru yang lebih safety.

Kata orang-orang menggunakan motor akan lebih menghemat biaya perjalanan, tapi menurutku sama saja, karena banyak persiapan dan peralatan yang harus aku beli. Sampai di kampung nanti aku juga harus service motor lagi, dan mengganti oli. Ditambah lagi biaya untuk pembelian bahan bakar, dan biaya titip barang yang berisi pakaian serta oleh-oleh.

Ada 12 sepeda motor yang bergabung untuk pulang kampung bareng saat itu, tetapi totalnya ada 13 orang, karena ada 1 sepeda motor yang digunakan berboncengan. Tidak semua orang aku kenal, karena ada beberapa teman dari temanku yang ikut rombongan. Temanku yang bernama Nurdin membuat stiker “Mudik Bareng Wonogiri” yang kami tempel di helm dan di motor bagian belakang untuk penanda bahwa itu rombongan kami.

Kumpul di depan gerbang kontrakanku

Kami berangkat pukul 14.00 WIB dengan titik awalnya adalah dari kontrakanku di Kalisari. Temanku yang berboncengan membawa lampu lalin (lampu lalu lintas) sebagai pembuka jalan sekaligus untuk tanda bahwa merekalah yang berada diurutan terakhir. Tidak lupa kami berdoa terlebih dahulu sebelum memulai perjalanan, kami saling menyalurkan satu tangan ke depan dan diakhiri sorakan.

Aku sangat bersemangat saat itu, sekalipun cuaca masih panas, ditambah lagi aku dan sebagian temanku memutuskan untuk tetap berpuasa. Rute yang kami ambil adalah melewati pantura, yakni dari kalisari – bekasi – karawang – cikampek – indramayu – cirebon – brebes – tegal – pemalang – pekalongan – batang – kendal – semarang – salatiga – Boyolali – Solo – Wonogiri.

Baru saja sampai di SPBU pondok gede, Budi salah satu temanku tidak terlihat di belakang. Azis yang saat itu sebagai koordinator mencoba menghubungi, tenyata Budi kembali lagi ke kalisari untuk mengambil koper yang isinya pakaian dan oleh-oleh yang sebelumnya mau dititipkan temannya ternyata bagasi busnya tidak cukup tempat.

Setelah setengah jam menunggu, Budi datang dengan motor Vega R dengan kopernya diletakkan di bagian depan. Kopernya besar banget, aku saja tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ada belokan yang ektrim, dia pasti kesulitan. Aku di sepanjang jalan terus berdoa agar rombongan kami semua selamat sampai rumah kami masing-masing.

Sampai di Jatiwaringin kendaran mulai padat, jalanan sudah macet, banyak orang yang berjualan di pinggir jalan dan ramai orang mencari buka puasa. Sampai di bekasi adzan magrib berkumandang, aku berbuka puasa di salah satu tempat peristirahat di pinggir jalan.

Aku berbuka puasa dengan minuman dingin dan roti yang dijual di pinggiran jalan. Alhamdulilah, rasanya benar-benar nikmat, setelah terkena panas dan macet di sepanjang jalan. Satu jam sudah kami beristirahat, dan saatnya kami melanjutkan perjalanan.

Sampai di Indaramayu, jalananan mulai penuh dengan mobil pribadi. Kecepatan rata-rata hanya 20 km/jam, itu pun kami melewati jalan di pinggiran aspal, atau keluar dari jalur aspal. Kami sempat beberapa kali beristirat karena macet parah.

Puncak macetnya di kota Cirebon, motor kami tidak bisa bergerak, ditambah lagi gerimis mulai turun. Saat itu kota Cirebon baru saja di guyur hujan lebat, terlihat dari jalanan yang sudah basah. Kami terus mengambil jalur di luar aspal sekalipun sangat licin dan berlumpur.

Sekitar pukul 23.30 WIB aku sudah mulai kekelahan, mengantuk, capek karena tidak bisa gerak sama sekali. Kalaupun bisa hanya beberapa meter kemudian berhenti lagi. Aku sempat berpikir untuk berhenti saja dan beristirahat sampai tidak macet, tapi kalau aku berhenti akan tertinggal dari yang lainnya dan mungkin kemacetan akan semakin parah.

Aku terus fokus melihat 2 motor temanku yang berada di urutan pertama dan kedua. Aku masih merasa tenang karena temanku masih terlihat, tapi aku tidak melihat teman-temanku yang berada di urutan belakangku. Malam itu benar-benar kacau, kendaraan sangat padat, mobil, bus, truk, motor, saling berebut jalanan.

Motor di depanku memberi kode untuk istirahat, akupun memilih untuk menepi. Sengaja kami bertiga menepi untuk menunggu teman-teman lainnya yang berada di urutan belakang. Setelah 30 menit kami menunggu tidak seorang pun terlihat.

Kemungkinan mereka sudah lebih dulu diantara kami, meskipun awalnya kami bertiga yang ada diurutan depan. di seberang jalan arah ke Jakarta kami melihat kendaraan mulai berdatangan, jadi untuk jalur ke arah jakarta di gunakan sebagian untuk pengemudi ke arah Jawa. Kami berpikir teman-teman kami pasti lewat di sebelah. Sebelumnya aku sudah mencoba menghubungi mereka tetapi tidak ada satupun yang memberikan respon, mungkin karena semua fokus mengendarai sepeda motor.

Kami bertiga pun melanjutkan perjalanan, dan berencana untuk melewati jalur sebelah agar bertemu dengan rombongan yang lainnya. Diantara jalur kanan dan kiri di batasi oleh beton di sepanjang jalan dengan ketinggian 1 meter, jadi kami harus mencari celah agar bisa melewatinya. Alhamdulilah, Beberapa meter di depan terlihat ada putaran yang bisa kami lewati untuk berpindah jalur.

Di sini jalanan lumayan leluasa dibanding jalur kiri, tetapi hanya beberapa menit kami berjalan, kemacetan pun kembali terjadi. Semua jalur macet total, aku mencoba berdiri dari atas motorku, kulihat jauh ke arah depan dan kemacetan terlihat sampai ujung.

Di jalur ini semua kendaraan terhenti hampir setengah jam, tidak bergerak sama sekali, bahkan beberapa pengendara memilih untuk duduk dan istirahat. karena macet, udara jadi sangat panas, keringatku mulai mengalir diantara rongga dadaku sekalipun di luar gerimis.

Aku melihat di jalur yang kami lewati sebelumnya kendaraan mulai berjalan. kami pun berfikir bagaimana caranya agar bisa pindah jalur kiri. Beberapa pengendara saling bantu membantu untuk mengangkat sepeda motor mereka melewati beton yang tingginya kurang lebih 1 meter itu.

Aku dan 2 temanku bergantian untuk mengangkat sepeda motor kami. untuk 2 sepeda motor temanku tidak ada masalah karena motor mereka matic jadi tidak terlalu berat. kami kesulitan saat mengangkat motorku karena besar dan lumayan berat, untung saja kami dibantu beberapa pengendara lainnya.

Ada rasa sedikit lega akhirnya kami bisa berjalan lagi, tapi lagi-lagi baru beberapa meter, sepeda motor kami terhenti kembali karena macet. Kami terus mengendarai pelan-pelan agar cepat sampai di rumah.

Motorku, yang kuberi nama Willyam

Tidak terasa gelapnya malam sudah berganti dengan fajar, akupun masih mengendarai sepeda motor di pinggiran aspal. Beberapa kali aku ingin terjatuh karena jalan di pinggir aspal dari tanah lempung yang sangat licin dan berlumpur. Saat itu kami masih bertiga, belum berjumpa dengan sembilan motor lainnya.

Sekitar pukul 06.00 WIB kami menepi di SPBU, kalau tidak salah masih di kota Pemalang. Kami berusaha menghubungi teman-teman yang lain tetapi tidak ada yang bisa dihubungi.

Beberapa saat kemudian temanku Budi yang membawa koper menelpon memberitahu jika dia juga berhenti di rest area SPBU, tetapi SPBU nya beda tempat dari tempatku berhenti. Saat itu kami sulit menemukan SPBU, karena banyak SPBU yang kehabisan bahan bakarnya. Kalaupun ada. antrian kendaraannya sangat panjang, dan itu salah satu penyebab kemacetan.

Jalanan berlumpur karena lewat pinggiran aspal

Setelah sarapan kami bertiga melanjutkan perjalanan, pagi itu jalanan tidak terlalu padat, tapi kecepatannya maksimal 40 km/jm. Kami bertiga memutuskan untuk tidak berpuasa di hari itu, karena melihat jarak tempuh sampai Wonogiri masih sangat jauh. Siang harinya kami sudah sampai di kota Pekalongan. kami beristirahat di salah satu rumah penduduk yang menjual makanan. Lumayan, kami sempat tertidur beberapa menit, rasa mengantuk yang kami tahan semalaman akhirnya hilang seketika.

Kami berhasil menghubungi Edy, salah satu rombongan kami. Setelah satu jam menunggu, dia datang tanpa rombongan lainnya. Setelah kami puas istirahat, kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan, tetapi sepeda motor Edy rusak, tidak bisa dinyalakan. Akhirnya kami pun mencari bengkel untuk memperbaikinya. Tidak mudah menemukan bengkel, karena banyak yang tutup, mungkin karena mendekati lebaran.

Sebelum menemukan bengkel, akhirnya sepeda motor Edy bisa digunakan lagi. Bahagia rasanya bisa melanjutkan perjalanan tanpa harus ke bengkel dulu, tapi lagi-lagi masalah kami temui. Sepeda motor Edy rusak lagi, dan kali ini bisa diatasi sendiri. Setelah melanjutkan perjalanan, sepeda motor Edy rusak lagi, dan ini terjadi berkali-kali. Sempat berfikir, seandainya tadi tidak ketemu dia, mungkin kami bertiga sudah sampai di kota berikutnya. Tapi pikiran itu aku buang jauh-jauh, aku harus menahan diri untuk sabar.

Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti di bengkel yang masih buka. Aku lebih memilih memesan es kelapa muda di sebelah bengkel untuk mengisi tenggorokanku yang sudah kering. Cuaca saat itu sangat panas, debu-debu bertaburan dari arah jalan raya. Tidak lama kemudian, 5 motor rombongan yang berada dibelakang mulai mendekat, jadi kami menunggunya sekalian. Kurang lebih satu jam kami menunggu, mereka akhirnya datang, jadi total sepeda motor kami sekarang ada 9 dengan jumlah 10 orang.

Makan malam dan menunggu hujan reda

Kami melanjutkan perjalanan, dan setelah mendengar adzan magrib kami berhenti di warung ketorpak untuk makan malam. Sambil istirahat kami menghubungi ke 3 teman kami yang lain, ternyata mereka sudah sampai di Wonogiri.

Sempat kaget, kok sudah sampai? sedangkan kami masih jauh untuk bisa sampai. Mereka mengendarai motornya kencang dan ingin cepat sampai tanpa memikirkan yang lain. Kalau aku lebih memilih untuk menunggu yang lainnya, sekalipun aku terlambat sampai di rumah. Kami berangkat bersama-sama, sebisa mungkin sampai juga sama-sama. Rasa setia kawan akan mengalahkan segalanya termasuk egoku sendiri.

Oke lanjut, dan masalah lain kembali terjadi. Hujan kembali turun dengan derasnya. Kami menunggu hampir satu jam, tapi hujan tidak berhenti. Kami memilih untuk memakai jas hujan dari pada menunggu hujan yang tidak mereda. Jalanan yang masih macet ditambah guyuran hujan mebuat kami mengurangi kecepatan. Jika kaca helmku aku turunkan, aku tidak bisa melihat dengan jelas jalan raya, tapi kalau aku membukanya wajahku terkena hujan. Rasanya sakit, apalagi kalau hujannya deras, ditambah lagi aku saat itu lagi jerawatn, jadi rasanya seperti dilempar-lempar batu kerikil. hahaha

Makan tengah malam di salah satu SPBU di Semarang

Sebelum pukul 00.00 WIB hujan mulai reda, kami melepas jas hujan agar saat mengendarai sepeda motor lebih nyaman. Tapi baru beberapa kilo meter melaju, hujan kembali turun, dan kali ini disertai petir. Kami berhenti dulu di salah satu gubuk di pingir jalan. Gubuknya gelap, kotor, dan aku sedikit ketakutan karena terkesan mistis.

Tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan, tetapi satu motor tidak terlihat di belakang. Ternyata mereka berhenti di Indomart karena tidak mau kehujanan. Sampi di Semarang teman kami Azis mengambil jalur kearah Kediri, jadi kami tinggal 8 motor yang kearah Wonogiri.

Sampi di boyolali hujan mulai turun dengan lebat, kami berhenti di bekas tempat jualan buah di pinggir jalan. Saat itu waktu menunjukan pukul 02.00 WIB. Kami menyempatkan untuk tidur sambil menunggu hujan reda.

Kami melanjutkan perjalanan saat sudah reda, kami tiba di SPBU Ndgadirojo sekitar pukul 04.00 WIB. Ini adalah titik terakhir perjalanan pulang kampung ini. Kami berpisah untuk menuju rumah kami masing-masing. Aku bergegas untuk sampai di rumah untuk merasakan masakan ibuku saat saur. Alhamdulilah, walau hanya sempat makan beberapa suap, kerinduan akan masakan ibuku telah terobati.

Akhirnya aku bisa menulis kisah ini, aku hampir melupakan beberapa momen. Buat teman-teman terima kasih atas kenangan ini, 44 jam mudik dari Jakarta ke Wonogiri. Kalau ada rekor MURI mengendarai sepeda motor saat mudik terlama dan penuh drama pasti rombongan kita yang menang.hehe

Mungkin sekarang kita sudah tidak sedekat dulu lagi, ya karena semakin dewasa pertemanan akan berkurang. Ada saatnya kita sibuk dengan pekerjaan, dengan keluarga kecil kalian yang baru, atau aktivitas lainnya. Sampi bertemu lagi ya nanti dengan cerita kehidupan kalian yang baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *